Welcome to my Life!!

hanya beberapa cuplikan kamus hidupku

Jumat, 03 April 2009

MAAF


MAAF...MAAF...


MAAF buat mama, papa yang selalu kasih dukungan dan doa yang tidak henti.
Untuk ka Welly yg uda kasih doa serta harapan....



Tapi aku gak bisa masuk UI, tp semoga bisa lulus dengan nilai yang maksimal....amin...

"Homoseksual itu Nyata dalam Kehidupan!"

Cinta adalah sebuah anugerah terindah dari Allah yang kita miliki. Cinta itu universal, tidak terbatas, dan tidak bisa kita hindari. Demikian pula dalam kehidupan berumah tangga, cinta adalah syarat pokok yang menjadi dasar keluarga yang harmonis dapat terbentuk. Cinta yang dimaksud adalah kepada pasangan hidup kita, karena ia yang akan menjadi pendamping hidup kita sampai maut memisahkan.
Namun, apa yang terjadi jika cinta tersebut bukan terjalin antara pria dan wanita, melainkan kepada sesama jenis, atau biasa kita sebut dengan homoseksualitas, awalnya kaum tersebut hanya perasaan kagum terhadap sesama jenis yang kemudian berkembang perasaaan ingin memiliki dan mereka hanya terangsang dengan sesamanya.
Apakah anugerah Tuhan yang berupa cinta ini berubah menjadi perbuatan dosa?
Kalau kita lihat dari sudut pandang agama Katolik, Kitab Suci Kejadian 1 ayat 27 dikatakan Allah menciptakan manusia menurut kehendak-Nya sesuai gambar dan rupa Allah, jelas menjadi kaum homoseksual bukan merupakan kehendak Allah, Ia menciptakan manusia untuk hidup berpasang-pasangan antara pria dan wanita. Masalah inilah yang menjadi semakin kontradiktif dalam masyarakat sebab agama-agama lain di Indonesia pun tidak pernah mengeluarkan statement memperbolehkan pernikahan sesama jenis.
Namun, biar bagaimana pun juga, dalam bacaan tadi, kaum homo juga merupakan gambar dan rupa Allah, sebagai manusia yang punya hak hidup layak dan kedudukan yang sama.
Manusia pada hakikatnya hidup di dunia untuk memanusiakan manusia lainnya. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka mendiskriminasikan dan dianggap berbeda dari manusia yang hidup normal seperti kita. Padahal, tidak ada manusia yang menginginkan dilahirkan sebagai seorang gay atau lesbi, mereka ingin menjadi manusia seutuhnya jasmani dan rohani.
Masyarakat masih bersikap acuh tak acuh dan masih menganggap hal ini sebagai hal yang tabu. Sebagai contohnya yaitu kasus penangkapan 20 gay di Pulo Gadung oleh pihak kekerasan, karena dianggap mengganggu ketentraman masyarakat. Mereka tidak melakukanpelanggaran hukum, hanya sedang berkumpul dalam komunitasnya, tapi dituduh sebagai penjaja seks.
Menjadi homo adalah PILIHAN dan bukanlah TAKDIR. Hal ini sangat penting diingat! Sebelum mereka berani menyatakan diri sebagai seorang homoseksual, mereka melalui proses pergumulan dan konflik batin yang sangat panjang. Mereka awalnya mengalami proses penyangkalan di mana mereka merasa takut dan tertekan karena berbeda dengan orang lain yang normal. Setelah itu masuk dalam tahap mencari dan punya kerinduan untuk bertemu dengan orang-orang yang punya nasib yang sama, setelah melalui pergumulan, akhirnya mereka mencapai fase penerimaan dengan menerima apa adanya dan tidak bisa melawan, serta berusaha untuk menikmati dengan status sebagi seorang homoseks. Bukan hal yang tidak mungkin mereka akan kembali pada kehidupan yang normal, jika ada kemauan kuat. Usahanya dapat ditempuh dengan membentuk komunitas bagi mereka sebagai wadah untuk sharing sehingga mereka bisa saling menguatkan dan perlahan-lahan menjadi manusia yang berorientasi heteroseksual.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang hidup berdampingan tidak berhak menghakimi manusia lainnya, melainkan mendampingi mereka dan memperlakukan mereka dengan wajar. Karena Tuhan datang ke dunia bukan untuk menghakimi manusia melainkan untuk memberikan pengampunan kepada kita yang berdosa. Amin.


Kotbah ujian praktek religiositas
-jeje-

Bagaimana politik dipandang dalam Gereja dan kehidupan beriman kristiani?

Proses demokratisasi yang ditempuh lewat pemilihan umum untuk memilih calon-calon pemimpin negara hanya sebagian kecil dari suatu dunia yang disebut politik. Politik seringkali diartikan sebagai cara-cara yang diusahakan seseorang atau sekelompok orang dalam mencapai tujuan tertentu, dalam mencapai kekuasaan dan untuk menciptakan bonum commune atau kesejahteraan umum. Gereja pun mendukung umatnya untuk ikut berperan serta dalam dunia politik atau pun sosial kemasyarakatan sebagai warga negara yang baik. Keterlibatan dalam kancah politik diharapkan gereja bukan semata-mata atas nama kekuasaan atau kekayaan semata tetapi karena kesadaran serta panggilan akan tanggungjawabnya yang besar terhadap bangsa dan negaranya. Sebenarnya, sejak Gereja Perdana zaman para rasul, manusia telah mewujudkan apa yang dinamakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada masa itu masyarakat telah terbagi menurut ideologinya masing – masing seperti kaum Zelot yang menggunakan jalan kekerasan, orang Saduki yang terdiri dari kaum bangsawan kelas atas, orang Farisi yang ingin melaksanakan hukum dan tradisi secara ketat, serta kaum Enseni yang menjaga kemurnian sebagai bangsa pilihan Allah.
Politik dianggap sebagian besar orang sebagai hal yang “kotor” sebab politik tidak mengenal kawan atau lawan sejati, terutama pada rezim orde baru di mana masyarakat takut dan alergi untuk masuk ke dalamnya. Dalam hal ini bukan berarti gereja menarik diri ataupun bersikap apatis terhadap kehidupan bernegara. Di era reformasi ini pikiran masyarakat dan gereja mulai terbuka memberikan dukungan dengan beberapa anjuran serta syarat dalam beretika politik. Paus Benedictus XVI mengungkapkan betapa pentingnya generasi baru dalam politik sebagai pernyataan iman, beliau juga memberikan anjuran kepada umat Katolik yang berkecimpung dalam dunia politik untuk tetap berpegang pada kebenaran yang diajarkan gereja serta bertindak dengan berpegang pada moral dan bekerja untuk tujuan yang baik. Hal pokok yang penting dicermati, dalam Konsili Vatican II yaitu Gaudium et Spes no.76 dinyatakan bahwa dengan jalan yang berbeda, Gereja dan Negara memiliki objek tujuan yang sama yaitu manusia, akan tetapi tugas mereka adalah otonom artinya Negara tidak berhak mencampuri kehidupan Gereja, sebaliknya Gereja pun tidak berhak mendikte yang harus dilakukan oleh Negara. Demikian pula hak berpolitik dijalankan bukan atas nama Gereja melainkan atas nama individual dan kesadaran pribadi, kesadaran ini pun diimani secara mendalam untuk melayani sesama dan mewujudkan bonum commune. Salah satu yarat yang diminta Gereja yakni tidak mengatasnamakan Gereja dalam berkiprah politik. Hal itu terealisasi dengan kemunculan Mantan Uskup Paraguay Fernando Lugo sebagai orang nomor satu di negaranya yang cukup menggemparkan dunia. Lugo terjun ke dunia politik tahun 2006 dan sejak saat itu status kaulnya dibekukan walaupun menimbulkan polemik di Vatican. Lugo memenangkan pemilu menggeser kekuasaan Partai Colorado yang telah berkuasa selama 61 tahun. Lugo yang dikenal sebagai “Pastor Si Miskin” mendukung Teologi Pembebasan dengan memperjuangkan kaum miskin dan tertindas. Lugo dengan tegas menyatakan, “Paraguay tidak akan diingat lagi untuk korupsi dan kemiskinan, namun karena kejujuran!”
Di Indonesia, hak untuk menjadi politisi juga ditempuh oleh seorang filsuf Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara, SJ (1913-1967), beliau menginspirasikan didirikannya Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 1969. HOMO HOMINI SOCIUS atau manusia adalah kawan bagi sesama menjadi ajaran pokok dan landasan beliau dalam mengritik, mempertanyakan serta menawarkan jalan keluar untuk persoalan jatuh bangunnya menjadi Indonesia. Dari tahun 1962-1967, beliau menjadi anggota MPRS dari Golkar dan dari 1965-1967 menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Selain itu, peran politik kaum agamais Katolik juga sudah dimulai oleh sosok Pater Beek, SJ, seorang Pastor Belanda yang sangat mengecam ancaman komunis serta islam. Motto hidup beliau yaitu “Larut tetapi Tidak Hanyut” begitu pula dalam kehidupan berpolitiknya, oleh karena kedekatannya dengan CIA, beliau dicurigai sebagai agen Black Pope, yaitu seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia.. Beliau aktif melakukan kaderisasi pemuda dan mahasiswa di Indonesia, juga andil dalam pendirian Golongan Karya. Dari contoh-contoh di atas membuktikan bahwa keterlibatan kita sebagai umat beriman serta sebagai warga Negara memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Keterlibatan tersebut tidak harus dengan masuk partai politik atau menjadi calon legislatif, melainkan bisa dilakukan dengan menjalankan fungsi warga negara serta menjadi kontrol terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Ikut serta menggunakan hak pilih dalam pemilu juga merupakan salah satu jalan mengaspirasikan hak politik kita, walaupun kita harus memilih yang terbaik diantara yang jelek. Bagi para pejabat hierarki gereja yang ingin berkancah politik harus melepaskan kaulnya terlebih dahulu dan bertindak berdasarkan kesadaran individual yang dilandaskan pada hati nurani. Pada intinya, Gereja maupun Negara memiliki tujuan mulia yang sama yaitu menciptakan BONUM COMMUNE atau kesejahteraan manusia.
-jeje-XII IPS I-5
Tugas akhir Kapsel 2008-2009